Kamis, 19 Mei 2016

Islam Itu Agama Yang Sempurna

Islam Itu Agama Yang Sempurna



Firman Allah Taala, maksudnya: "Sesungguhnya agama(1) yang diredhai Allah ialah Islam(2) ..." (19, Ali Imran).
"Sesiapa yang menurut jalan yang lain dari apa yang disyariatkan Allah sebagai agamanya, maka tidak sekali-kali akan diterima daripadanya .." (85, Ali Imran).
Sungguh suatu anugerah yang tak terhingga, ketika Allah SWT memberikan nikmat terbesar dalam kehidupan manusia, yaitu nikmat iman dan Islam. Nikmat yang menjadikan ada sebuah pembeda (furqan) antara seorang muslim dengan musyrikin. Nikmat Islam merupakan kunci surga Allah, yang di dalamnya terdapat banyak sekali kenikmatan abadi yang tiada habisnya, di mana setiap muslim dijamin oleh Allah akan dimasukkan ke dalam jannah-Nya, apabila menerapkan Islam secara kaffah dalam hidupnya. 
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah 2: 208)

Islam memiliki sifat-sifat dasar yaitu kesempurnaan, penuh nikmat, diridhai dan sesuai dengan fitrah. Sebagai agama, sifat-sifat ini dapat dipertanggungjawabkan dan menjadikan pengikutnya dan penganutnya tenang, selamat dan bahagia dalam menjalani hidup. Muslim menjadi selamat karena Islam diciptakan sebagai diin yang sempurna. Ketenangan yang dirasakan seorang muslim karena Allah memberikan segenap rasa nikmat kepada penganut Islam, kemudian kepada mereka yang mengamalkan Islam karena sesuai dengan fitrahnya. 
Firman Allah S.W.T“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum 30: 30) 

Islam merupakan agama yang sempurna berarti lengkap, menyeluruh dan mencakup segala hal yang diperlukan bagi panduan hidup manusia. Sebagai petunjuk/ pegangan dalam hidupnya, sehingga dapat menjalani hidup dengan baik, teratur dan sejahtera, mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

Islam adalah sistem yang menyeluruh, mencakup seluruh sisi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlaq dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran. Ia adalah aqidah yang lurus, ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih. Syumul (universalitas) merupakan salah satu karakter Islam yang sangat istimewa jika dibandingkan dengan syariah dan tatanan buatan manusia, baik komunisme, kapitalisme, demokrasi maupun yang lainnya. Universalitas Islam meliputi waktu, tempat dan seluruh bidang kehidupan. Ulama besar Mesir asy syahid Hasan Al Banna berkata 
“Risalah Islam mempunyai jangkauan yang sangat lebar sehingga berlaku bagi seluruh umat, dan jangkauan yang sangat dalam sehingga mencakup seluruh urusan dunia dan akhirat.”
Kesempurnaan Islam ini ditandai dengan syumuliyatuz zaman (sepanjang masa), syumuliyatul minhaj (mencakup semuanya) dan syumuliyatul makan (semua tempat).

1. Islam sebagai syumuliyatuz zaman (sepanjang masa) adalah agama masa lalu, hari ini dan sampai akhir zaman nanti. Sebagaimana Islam merupakan agama yang pernah Allah sampaikan kepada para Nabi terdahulu, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan: “Sembahlah Allah dan jauhilah Thaghut.” (QS. An Nahl 16: 36). Kemudian disempurnakan oleh Allah melalui risalah nabi Muhammad SAW sebagai kesatuan risalah dan nabi penutup. Islam yang dibawa nabi Muhammad SAW dilaksanakan sepanjang masa untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat. “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ 34: 28)

2. Islam sebagai syumuliyatul minhaj (mencakup semuanya) melingkupi beberapa aspek lengkap yang terdapat dalam Islam itu sendiri, misalnya jihad dan da’wah (sebagai penyokong/ penguat Islam), akhlaq dan ibadah (sebagai bangunan Islam) dan aqidah (sebagai asas Islam). Aspek-aspek ini menggambarkan kelengkapan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah SWT. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran 3: 19)

3. Islam sebagai syumuliyatul makan (semua tempat) karena Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini sebagai satu kesatuan. Pencipta alam ini hanya Allah saja. Karena berasal dari satu pencipta, maka semua dapat dikenakan aturan dan ketentuan kepada-Nya. Firman Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan dan pencipta alam semesta: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah 2: 163-164)

Kelengkapan Ajaran Islam Di Bidang Aqidah
Aqidah Islam adalah aqidah yang lengkap dari sudut manapun. Islam mampu menjelaskan persoalan-persoalan besar kehidupan ini. Aqidah Islam mampu dengan jelas menerangkan tentang Tuhan, manusia, alam raya, kenabian, dan bahkan perjalanan akhir manusia itu sendiri.

Islam tidak hanya ditetapkan berdasarkan instink/ perasaan atau logika semata, tetapi aqidah Islam diyakini berdasarkan wahyu yang dibenarkan oleh perasaan dan logika. Iman yang baik adalah iman yang muncul dari akal yang bersinar dan hati yang bercahaya. Dengan demikian, aqidah Islam akan mengakar kuat dan menghujam dalam diri seorang muslim. Meyakini secara benar bahwa tiada Tuhan selain Allah dengan meyakini dalam hati, mengucapkan secara lisan dan dibuktikan dengan mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
 

Aqidah Islam adalah aqidah yang tidak bisa dibagi-bagi. Iman seorang mu’min adalah iman 100% tidak bisa 99% iman, 1% kufur.
 “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah 2: 85).

Kelengkapan Ajaran Islam Di Bidang Ibadah

Ibadah dalam Islam menjangkau keseluruhan wujud manusia secara penuh. Seorang muslim beribadah kepada Allah dengan lisan, fisik, hati, akal, dan bahkan kekayaannya. Lisannya mampu bedzikir, berdoa, tilawah, amar ma’ruf nahi munkar. Fisiknya mengiringi dengan berdiri, ruku’ dan sujud, puasa dan berbuka, berjihad dan berolah raga, membantu mereka yang membutuhkan. Hatinya beribadah dengan rasa takut (khauf), berharap (raja’), cinta (mahabbah) dan bertawakal kepada Allah. Ikut berbahagia atas kebahagiaan sesama, dan berbela sungkawa atas musibah sesama. Akalnya beribadah dengan berfikir dan merenungkan kebesaran dan ciptaan Allah. Hartanya diinfakkan untuk pembelanjaan yang dicintai dan diperintahkan Allah serta membawa kemaslahatan bersama.
 

Maha Suci Allah yang telah mengatur segala sesuatunya dengan baik dan menenteramkan. Seluruh aktivitas seorang muslim akan bernilai ibadah di mata Allah, apabila dijalankan dengan ikhlas dan diniatkan hanya untuk mengharap ridha-Nya. Sehingga kita patut mencontoh Rasulullah SAW dan para sahabat yang selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (ibadah), karena mereka yakin bahwa Allah akan membalasnya dengan limpahan pahala dan sesuatu yang jauh lebih baik di dunia maupun di akhirat (jannah).
 

Kelengkapan Ajaran Islam Di Bidang Akhlaq
Akhlaq Islam memberikan sentuhan kepada seluruh sendi kehidupan manusia dengan optimal. Akhlaq Islam menjangkau ruhiyah, fisik, agama, duniawi, logika, perasaan, keberadaannya sebagai wujud individu, atau wujudnya sebagai elemen komunal (masyarakat).
 

Akhlaq Islam meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pribadi, seperti kewajiban memenuhi kebutuhan fisik dengan makan dan minum yang halalan thoyiban serta menjaga kesehatan, seruan agar manusia mempergunakan akalnya untuk berfikir akan keberadaan dan kekuasaan Allah, seruan agar manusia membersihkan jiwanya, 
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams 91: 9-10).

Hal-hal yang berkaitan dengan keluarga, seperti hubungan suami istri dengan baik, hubungan anak dan orang tua, hubungan dengan kerabat dan sanak saudara. Semuanya diajarkan dalam Islam untuk saling berkasih sayang dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
 

Hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat, seperti seruan untuk memuliakan tamu dan etika bertamu, mengajarkan bahwa tetangga merupakan keluarga dekat, hubungan muamalah yang baik dengan saling menghormati, seruan untuk berjual beli dengan adil, dsb. Menjadikan umat manusia dapat hidup berdampingan dengan damai dan harmonis.
 

Kesempurnaan Islam juga mengatur pada akhlaq Islam yang berkaitan dengan menyayangi binatang, tidak menyakiti dan membunuhnya tanpa alasan. Akhlaq Islam yang berkaitan dengan alam raya, sebagai obyek berfikir, merenung dan belajar, 
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran 3: 190), sebagai sarana berkarya dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Lebih dari itu semua adalah akhlaq muslim kepada Allah SWT, Pencipta, dan Pemberi nikmat, dengan bertahmid, bersyukur, berharap (raja’), dan takut (khauf) terpinggirkan apalagi dijatuhi hukuman, baik di dunia maupun di akhirat.
 

Kelengkapan Ajaran Islam Di Bidang Hukum/ Syariah

Syariah Islam tidak hanya mengurus individu tanpa memperhatikan masyarakatnya, atau masyarakat tanpa memperhatikan individunya. Syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Ada aturan ibadah, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah. Ada halal dan haram (bahaya-berguna) yang mengatur manusia dengan dirinya sendiri. Ada hukum keluarga, nikah, thalaq, nafkah, persusuan, warisan, perwalian, dsb. Ada aturan bermasyarakat, seperti: jual beli, hutang-piutang, pengalihan hak, kafalah, dsb. Ada aturan tentang tindak kejahatan, minuman keras, zina, pembunuhan, dsb.
 

Dalam urusan negara ada aturan hubungan negara terhadap rakyatnya, loyalitas ulil amri (pemerintah) yang adil dan bijaksana, bughot (pemberontakan), hubungan antar negara, pernyataan damai atau perang, dsb. Untuk mewujudkan negara yang adil dan sejahtera sesuai dengan tatanan hidup Islam, maka syariah Islam harus diterapkan secara kaffah dalam kehidupan bernegara.
 

Kelengkapan Ajaran Islam Dalam Seluruh Aspek Kehidupan

Islam adalah agama yang sempurna. Salah satu bukti kesempurnaannya adalah Islam mencakup seluruh peraturan dan segala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu Islam sangat sesuai dijadikan sebagai pedoman hidup. Di antara kelengkapan Islam yang digambarkan dalam Al Qur’an adalah mencakup konsep keyakinan (aqidah), moral, tingkah laku, perasaan, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, militer, hukum/ perundang-undangan (syariah).
 

Kesempurnaan Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan merupakan satu-satunya diin yang diridhai Allah SWT menjadikannya satu-satunya agama yang benar dan tak terkalahkan.
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS. At Taubah 9: 33).

Beruntunglah bagi setiap manusia yang diberikan hidayah oleh Allah SWT untuk dapat merasakan nikmat berislam dan menjauhkannya dari kesesatan hidup jahiliyah. Rawat dan jagalah nikmat iman dan Islam dengan tarbiyah Islamiyah serta menerapkan Islam secara kaffah, sehingga terwujud kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.
 

Islam sendiri memiliki syariat / peraturan hukum yang sangat sempurna karena memiliki beberapa keunikan, diantaranya:

Pertama, bersifat manusiawi yang menunjukkan relevansi hukum Islam dengan watak manusia serta kebutuhan dan keinginan manusia. Kemudian menghargai hak hidup manusia, memenuhi kebutuhan rohani dan mengembangkan akal pikir manusia. Selain itu, juga menjunjung tinggi prinsip kehidupan manusia seperti keadilan, toleransi, permusyawaratan, saling mengasihi,saling memaafkan, persatuan, perdamaian dan sebagainya.

Kedua, bercirikan moral yang menunjukkan bahwa hukum Islam berpijak pada kode etik tertentu mengingat Nabi Muhammad diturunkan bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia dengan tetap berpijak pada kode etik dalam Alqur’an. Hal ini berarti Islam menjaga kehormatan dan martabat manusia, saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta mendudukkan sesuatu sesuai kedudukannya..

Ketiga, bercirikan universal dalam artian seluruh aturan ada dan mengikat untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Tidak seperti agama lain yang diturunkan untuk umat agamanya saja, segenap peraturan yang ada dalam Islam tidak hanya untuk umat Islam saja tetapi mengikat juga ke umat lain.

Islam dan syariahnya membuka diri dan dapat berdialog dengan siapapun dan kapanpun karena Islam menjelaskan seluruh permasalahan umat. Selain itu, syariah Islam juga memliki karakteristik tersendiri diantaranya:

Pertama, sempurna mengingat Islam sebagai agama terakhir telah disempurnakan oleh Alloh sehingga mencakup berbagai dimensi kehidupan baik akidah, politik kemasyarakatan, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, sosial kemasyarakatan, ekonomi dan sebagainya.

Kedua, berwatak harmonis dan seimbang yakni keseimbangan yang tidak goyah, selaras dan serasi sehingga membentuk ciri khas yang unik. Karenanya ada hukum wajib sebagai bandingan haram, sunah dengan makruh dan ditengahi oleh hukum mubah. Hal lainnya adalah menempatkan kewajiban seiring dengan penuntutan hak, menggunakan harta benda tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, dan sebagainya.

Ketiga, dinamis yang menunjukkan bahwa syariah Islam bisa berkembang menurut kondisi pada masa itu. Adanya ijtihad dalam Islam membuka jalan berubahnya peraturan yang belum ada ketetapan yang pasti.


Wallahu a’lam bishshowab

Islam Rahmatan Lil ’Alamin

Islam Rahmatan Lil ’Alamin

Islam (Al-Islâm) adalah agama (dîn) yang mulia dan memuliakan manusia. Islam turun dari Zat Yang Maha Mulia, Allah SWT. Islam hadir dengan berbagai keunggulannya, sebagaimana ia pun tegak dengan berbagai karakteristiknya.
Namun, saat ini kita menemukan pendistorsian (tahrîf) atas nas-nas syariah sebagai dalih atas pemahaman sesat-menyesatkan, pengaburan ajaran Islam dengan istilah-istilah yang mengkotak-kotakan Islam dan penyimpangan makna di balik istilah yang disematkan pada Islam. Salah satunya syubhat di balik ungkapan “Islam Rahmatan lil ’Alamin”.
Jokowi dalam siaran pers kampanye politiknya tahun 2014 mengatakan, “Saya, Jokowi, bagian dari Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di negara RI yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan.”
Jokowi pun mengatakan dirinya bukan bagian dari kelompok yang mengaku Islam yang punya tujuan mewujudkan negara Islam (Kompas.com, 24/5/2014).
Ketua GP Anshor, Nusron Wahid, juga mengatakan, “…Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam yang toleran, yang mengakomodasi kebudayaan Nusantara.”
Nusron pun menjelaskan bahwa Islam Indonesia adalah salah satu bangunan fundamental terbentuknya NKRI. (Kompas.com, 12/6/2015).
Realitasnya, istilah ini sering dijadikan dalih penganut sepilis (sekularisme-pluralisme-liberalisme) dalam menyebarkan syubhat seakan Islam membenarkan paham kufur pluralisme, kebebasan beragama dan pengkotak-kotakan Islam. Muncullah istilah”Islam fundamental” atau “Islam radikal” yang mereka maknai sendiri secara zalim untuk menstigma negatif gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan penegakkan Islam. Istilah ini dijadikan dalih untuk mendistorsi dan mereduksi ajaran Islam serta menjegal perjuangannya. Ini pun menunjukkan standar ganda mereka yang toleran—dengan asas pluralismenya—terhadap kekufuran dan penganutnya, namun tidak toleran terhadap umat Islam yang memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan.
Penjelasan Ulama Mu’tabar
Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Dalam ayat di atas kata ar-rahmah adalah mashdar dari kata kerja rahima.1 Kata ini berkedudukan sebagai tujuan pengutusan Muhammad saw. (maf’ûl li ajlihi) atau sebagai keterangan (hâl) bahwa Muhammad saw. adalah ar-rahmah2 yang menguatkan kedudukan beliau (mubâlaghah)3.
Dalam konteks penggunaan istilah ini Ar-Raghib al-Ashfahani menguraikan bahwa ar-rahmah kadang berkonotasi al-riqqah (kelembutan) atau berkonotasi al-ihsân (kebajikan);4atau al-khayr (kebaikan) dan an-ni’mah (kenikmatan).5Karena itu kata ini termasuk ke dalam lafal yang berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak)6. Pemaknaannya ditentukan oleh indikasi lainnya.7
Makna ayat di atas diperjelas melalui firman-Nya:
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلاَّ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
Tidaklah engkau mengharap al-Quran diturunkan kepada dirimu melainkan sebagai rahmat dari Tuhanmu (QS Al-Qashash [28]: 86).
Lihat pula QS Al-’Ankabût (29) ayat 51. Keduanya memperjelas: Tidaklah Allah mengutus Muhammad saw. kecuali sebagai rahmat bagi ciptaan-Nya dengan semua yang terkandung dalam al-Qur’an al-Karim ini,8yakni kebaikan yang terkandung dalam ajaran-ajaran-Nya. Para ulama mu’tabar pun menjelaskan ar-rahmat dalam ayat tersebut berkaitan dengan penerapan syariah Islam kâffah dalam kehidupan sebagai tuntutan akidah Islam yang diemban oleh Rasulullah saw.
Di antaranya adalah ulama Nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani(w. 1316 H). Ia menyatakan:
وماأرسلناك ياأشرف الخلق بالشرائع، إلاّرحمةللعالمين أي إلاّلأجل رحمتناللعالمين قاطبة في الدين والدنيا
Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa ajaran-ajaran syariah-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta, yakni agar menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya; bagi agama ini dan kehidupan dunia.9
Imam ’Izzuddin bin ’Abdissalam (w. 660 H) menafsirkan kata rahmat[an] dalam ayat ini sebagai hidâyat[an], yakni petunjuk,10 tentunya petunjuk dari risalah Islam yang diemban Nabi saw.
Sejalan dengan Imam al-Nasafi, Imam al-Baidhawi pun menegaskan bahwa beliau menjadi rahmat karena diutus dengan apa yang menjadi sebab kebahagiaan manusia dan kebaikan bagi kehidupan dunia dan tempat kembalinya kelak.11
Imam Al-Zamakhsyari (w. 538 H) menjelaskan bahwa Allah mengutus Rasulullah saw. sebagai rahmat bagi alam semesta karena ia datang dengan apa-apa yang akan membuat mereka bahagia jika mengikutinya.12
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) pun menyatakan, rahmat tersebut mencakup kehidupan agama dan dunia. Mencakup agama karena beliau turun menyeru manusia ke jalan kebenaran dan pahala, mensyariatkan hukum-hukum dan membedakan antara halal dan haram. Yang mengambil manfaat (hakiki) dari rahmat ini adalah siapa saja yang kepentingannya mencari kebenaran semata, tidak bergantung pada taqlid buta, angkuh dan takabur, berdasarkan indikasi dalil13:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى
Katakanlah, “Al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang beriman, sementara orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan.” (QS Fushshilat [41]: 44).
Mencakup kehidupan dunia karena manusia terhindar dari banyak kehinaan dan ditolong dengan keberkahan din-Nya ini.14
Inti penafsiran di atas kian menjadi jelas ketika kita memerhatikan firman-Nya:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim (QS an-Nahl [16]: 89).
Frasa tibyân[an] li kulli syay-[in] bermakna: apa saja yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil. Ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh ath-Thabari15, Imam ats-Tsa’labi16, Imam Abu Bakr al-Jazairi dan yang lainnya. Abu Bakar al-Jazairi menjelaskan kedudukan al-Quran sebagai hud[an], yakni petunjuk dari segala kesesatan; juga rahmat[an], yakni rahmat khususnya bagi mereka yang mengamalkan dan menerapkan al-Quran bagi diri sendiri dan di dalam kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di antara mereka.17
Tak samar kewajiban menegakkan syariah Islam kâffah (totalitas) dalam QS al-Baqarah (2) ayat 208. Islam adalah rahmat bagi alam semesta dengan ajaran-ajarannya. Islam adalah rahmat dengan syariah shaum (QS al-Baqarah [2]: 183). Islam pun rahmat (kebaikan hakiki) dengan keseluruhan syariahnya: syariahqishash (QS al-Baqarah [2]: 178), syariah jihad (QS al-Baqarah [2]: 216). QS al-Anbiya’ [21]: 107) pun menjadi dalil kaidah syar’iyyah:
حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ
Di mana pun tegak syariah maka akan ada kemaslahatan.18
Dengan demikian penegakan seluruh ajaran Islam menjadi satu-kesatuan sistem kehidupan merupakan kebaikan hakiki bagi seluruh sendi kehidupan.
Sebaliknya, banyak dalil al-Quran dan as-Sunnah yang mengecam orang yang berpaling dari ajaran-Nya (QS Thaha [20]: 124) atau mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya dari ajaran-Nya (QS al-Baqarah [2]: 285).
Kedua sisi ini tergambar pula dalam ayat ini:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka lakukan (QS al-A’raf [7]: 96).
Lalu masih adakah celah mereduksi atau mengaburkan kewajiban penerapan Islam kâffah di balik ungkapan ’Islam Rahmat[an] lil ’Âlamîn’?
Khilafah dan Penegakan Syariah
Islam tak tegak sempurna kecuali dengan tegaknya Al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah. Hal ini sebagaimana pujian khusus (qashr) dari Rasulullah saw.:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai; umat akan diperangi di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muslim, Ahmad, dll).
Demikian pula sebagaimana kesaksian para ulama pewaris para Nabi saw. tentang Khilafah. Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H) pun bertutur:
وَلَوْلاَ السُّلطَانُ َلأَكَلَ النَّاسُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً
Andai tidak ada as-Sulthân (Imam/Khalifah) maka pasti manusia akan menzalimi satu sama lain.19
Bi fadhliLlâh, Islam pun menjadi mercusuar peradaban umat manusia selama rentang waktu +14 abad lamanya di bawah panji Khilafah hingga sampai di Nusantara. Khilafah adalah thariqah syar’iyyahmenegakkan syariah seluruhnya; memelihara jiwa, harta dan kehormatan umat di bawah kekuasaannya; menyebarkan risalah mulia ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad yang menjadi politik luar negerinya; menjadi simbol persatuan umat di bawah al-liwâ’ dan ar-râyah-nya. Pentingnya kedudukan Khilafah dan kewajiban menegakkannya tersirat dan tersurat dalam khazanah ilmu para ulama mazhab seluruhnya. Bahkan para Sahabat telah berijmak mendahulukan pengangkatan khalifah atas pemakaman jenazah semulia-mulia makhluk-Nya, Muhammad al-Mushthafa saw. Kita pun sejatinya sebagaimana dituturkan syair:
نبني كما كانت أوائلنا # تبني، ونفعل مثل ما فعلوا
Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun
Kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.
Dengan demikian kian terang-benderang bahwa rahmat[an] lil ’âlamîn adalah buah tegaknya syariah Islam secara kâffah dalam kehidupan yang tegak sempurna dalam naungan al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah, bukan selainnya yang memecah-belah kaum Muslim dan merampas kemuliaannya. Benarlah Umar bin al-Khaththab ra. yang berkata:
إِنَّاقَوْمٌ أَعَزَّنَااللَّهُ بِاْلإِسْلاَمِ فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَبِغَيْرِهِ
Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam sehingga kami tak akan pernah mencari kemuliaan dengan selainnya.20
WalLahu a’lam[Irfan Abu Naveed]

Syabab HTI Sukabumi, Mudir Ma’had al-Mu’tashim Billah & Staff Kulliyyatusy Syari’ah.
Catatan kaki:
1         Abu Manshur Muhammad bin Ahmad, Tahdzîb al-Lughah, Beirut; Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, Cet.I, 2001, (V/34)
2         Abu al-Baqa’ al-‘Akbari, At-Tibyân fî I’râb al-Qur’ân, Syirkatu ‘Isa al-Halb, (II/929)
3         Abul ‘Abbas Syihabuddin al-Halabi, Ad-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Kitâb al-Maknûn, Damaskus: Dâr al-Qalam (VIII/214)
4         Ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, (I/253-254)
5         Lihat QS. Yûnus [10]: 21; Ibrahim Mushthafa, dkk, Al-Mu’jam al-Wasîth, Dâr al-Da’wah, (I/335)
6         Abdul Halim Muhammad Qunabis, Mu’jam al-Alfâzh al-Musytarakah fî al-Lughah al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnân,1986, (hlm. 55).
7         Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughatil Fuqahâ’, Beirut: Dâr an-Nafâ’is, Cet.II, 1988, (I/430).
8         Muhammad al-Amin a-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân,Dâr ‘Âlam al-Fawâ’id,(IV/869)
9         Muhammad bin ‘Umar Nawawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1417 H, (II/62)
10        Izzuddin bin ‘Abdissalam, Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet.I, 1996, (II/341)
11        Nashiruddin al-Baydhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Cet.I, 1418 H, (IV/62).
12        Abul Qasim al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cet. III, 1407 H, (III/138)
13        Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Cet.III, 1420 H, (XXII/193).
14        Ibid.
15        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, (XVII/278).
16        Ahmad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, (VI/37).
17        Jabir bin Musa Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafâsîr, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm, Cet. V, 1424 H, (III/138-139).
18        Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islâm (I/255); Muhammad Isma’il, Al-Fikr al-Islâmiy (I/48).
19        Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, Âdâb al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir, Cet. III, 1428 H, (I/58).
20        Abu Abdullah al-Hakim, Al-Mustadrak, Kairo: Dar al-Haramain, 1417 H, (I/120)